Rabu, 31 Januari 2018

Menasehati Orang Yang Suka Maksiat • Nasehat Islam

Hati hati, jika kamu melihat kemungkaran dan kemaksiatan lalu kamu diamkan saja, berarti kamu ridho pada kemungkaran itu. Dan efek terburuk adalah kamu akan ikut terkena azab dari kemungkaran itu. Jangan pernah takut dibenci hanya karena mengungkapkan dan mengajak kepada kebenaran.

IG : @islam_nasehat
Blog : www.islam-nasehat.tk

Selasa, 30 Januari 2018

Cinta Dunia Dan Takut Mati • Nasehat Islam


Rasulullah Sudah memprediksi kan jauh di abad yang lalu.

Dan ternyata benar contoh kasusnya adalah sekarang, Kota Suci No. 3 umat Islam Yerusalem Atau Baitul Maqdis . Palestina. Yang dikuasai oleh Yahudi Israel. Kita tidak mampu berbuat apa padahal jumlah umat Islam di dunia cukup besar. Karena sebagian besar kita terserang penyakit Al Wahn. Yaitu Cinta Dunia Dan Takut Mati (Jihad)

Cinta Dunia Dan Takut Mati

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk." Seorang laki-laki berkata, "Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?" beliau menjawab: "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn." Seseorang lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati."

(HR. Abu Daud)

IG : @islam_nasehat
Blog : www.islam-nasehat.tk

Sholat Ketika Terjadi Gerhana • Nasehat Islam

Sholat Ketika Terjadi Gerhana • Nasehat Islam 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Sesungguhnya tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan karena kematian seseorang atau pun kelahirannya, akan tetapi keduanya adalah ayat-ayat Allah. Karena itu, bila kalian melihat (gerhana), maka shalatlah."

(HR. Muslim)



 dari Abu Bakrah berkata, "Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu terjadi gerhana matahari.

 Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri menjulurkan selendangnya hingga masuk ke dalam masjid, kamipun ikut masuk ke dalam Masjid, beliau lalu mengimami kami shalat dua rakaat hingga matahari kembali nampak bersinar.

 Setelah itu beliau bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan banyaklah berdoa hingga selesai gerhana yang terjadi pada kalian."

(HR. Bukhari)


Gambaran shalat gerhana Rasulullah,

 beliau kemudian mendirikan shalat dengan diikuti oleh orang-orang di belakangnya. Beliau berdiri dengan lama, lalu rukuk dengan rukuk yang panjang, lalu mengangkat (kepala) kemudian berdiri dengan panjang, namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian rukuk kembali dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, kemudian beliau mengangkat kepalanya dan sujud. Kemudian beliau kembali berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama, lalu rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat (kepala) dan berdiri dengan panjang namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian beliau rukuk dengan panjang namun tidak sepanjang rukuk yang pertama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu sujud dan mengakhiri shalatnya

(HR. Bukhari)

Senin, 29 Januari 2018

Pertanggungjawaban Organ Tubuh Dihari Kiamat

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah memberitakan kepada kami Sufyan dari Yahya bin Abdullah dari Salim bin Abu Al Ja'd ia berkata; Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Abbas lalu menyebutkan sebuah hadits, lalu ia berkata;

Sungguh aku telah mendengar Nabi kalian shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat akan datang orang terbunuh dengan membawa kepalanya." Entah beliau bersabda: "Dengan tangan kiri atau kanannya, urat-urat lehernya tertarik di hadapan 'Arsy Ar Rahman Tabaraka wa Ta'ala, ia berkata; Wahai Rabbku, tanyakan kepada orang ini mengapa ia membunuhku?"

HR. Ahmad

Bacaan Rasulullah Pada Sholat 2 Rakaat Fajar (Qobliyah Subuh)


Bacaan Rasulullah Pada Sholat 2 Rakaat Fajar (Qobliyah Subuh)

Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Al Fazari yaitu Marwan bin Muawiyah dari Utsman bin Hakim Al Anshari, katanya;

telah menceritakan kepadaku Said bin Yasar bahwa Ibnu Abbas mengabarinya; bahwa dalam dua raka'at fajar, tepatnya di raka'at pertama,

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca "Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami." QS. Albaqarah 136, dan pada rakaat kedua membaca "Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami orang muslim." QS. Ali Imran 52.

HR.. Muslim

@islam_nasehat


Allah Lebih Tau Orang Mana Yang Mau Menerima Petunjuk

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ  اَحْبَبْتَ وَلٰـكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَآءُ ۗ  وَهُوَ اَعْلَمُ  بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

[QS. Al-Qasas: Ayat 56]

Tugas kita sesama muslim cuma menyampaikan, biarlah Allah yang memutuskan. Orang mana yang berhak mendapat hidayah dan orang mana yang memang sudah tercipta sebagai bahan bakar neraka.

Jangan lupa mengajak kepada kebaikan setiap hari ya saudara muslimku.

- @islam_nasehat

3 Penunggang Kuda • Nasehat Islam

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Musa Al Anshari berkata, telah menceritakan kepada kami Ma'n berkata, telah menceritakan kepada kami Malik dari 'Abdurrahman bin Harmalah dari Amru bin Syu'aib dari

Bapaknya dari Kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Satu penunggang kuda adalah setan, dua penunggang kuda adalah setan dan tiga orang adalah rombongan."

Abu Isa berkata, "Hadits Ibnu Umar ini derajatnya hasan shahih, kami tidak mengetahui hadits ini kecuali dari jalur ini, yaitu dari hadits Ashim. Dan dia adalah Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar.

Muhammad berkata; ia adalah seorang yang tsiqah (dapat dipercaya) dan jujur, sementara Ashim bin Umar Al Umari yang seorang yang lemah dalam hadits, aku tidak pernah meriwayatkan sesuatu pun darinya. Dan hadits Abdullah bin Amru derajatnya hasan."

HR. Tirmidzi

Anak Kecil Imut Lucu Belajar Menghafal Al-Quran







Anak Kecil Imut Lucu Belajar Menghafal Al-Quran

Ajari Anak Perempuan Anda Menutup Aurat Sejak Usia Dini







Ajari Anak Perempuan Anda Menutup Aurat Sejak Usia Dini

Kumpulan Anak Kecil Yang Sudah Menghafal Al-Quran







Kumpulan Anak Kecil Yang Sudah Menghafal Al-Quran

Jama'ah Tabligh • Sesatkah? PART 2 • Ustadz Khalid Basalamah







Jama'ah Tabligh • Sesatkah? PART 2 • Ustadz Khalid Basalamah

Alhamdulillah Bibit Bibit Muslim Di Jepang Mulai Banyak





Alhamdulillah Bibit Bibit Muslim Di Jepang Mulai Banyak

Ajarkan Anak Menutup Aurat Sejak Usia Dini Bunda..







Ajarkan Anak Menutup Aurat Sejak Usia Dini Bunda..

Laknat Untuk Semua Yang Ikut Transaksi Riba

Riba menurut bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara khusus. Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.”(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih mengatakan bahwa hadits ini sahih).


RIBA BUKAN PERNIAGAAN

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. [Al Baqarah:275].

Perniagaan model riba pada masa sekarang telah menyebar, merata di seluruh pelosok dunia, di kota dan di desa. Penggemarnya bukan hanya orang kafir, tetapi juga kaum muslimin. Berniaga dengan uang pinjaman dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap bulan itu, bukan hanya penguasaha kecil yang susah mencari pinjaman orang kampung -sehingga didatangi oleh bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi pengusaha yang kayapun hobinya senang berhutang di bank riba.

Mereka menganggap riba sama sengan peniagaan, karena dinilai sama-sama mencari keuntungan. Tentunya orang mukmin yang ingin menghidupkan hukum Allah dan Sunnah NabiNya tidak akan diam menghadapi kemungkaran ini.

Selanjutnya, mari simak pembahasannya, agar kita selamat dari murka Allah di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita. Amin.

MAKNA RIBA DAN PERNIAGAAN
Riba menurut bahasa artinya tambahan. Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara khusus. Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.

Perniagaan (al bai’ was syira’), ialah memberikan harga dan mengambil yang dihargai.  Maksudnya, menyerahkan sesuatu yang berharga, dengan mengambil sesuatu yang lain, bertujuan untuk dimiliki, dengan akad secara lisan atau perbuatan, berdasar suka sama suka. Dalilnya firman Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [An Nisa’:29].

HUKUMNYA
Riba hukumnya haram, berdasarkan firmanNya: ( وَحَرَّمَ الرِّبَا dan Allah mengharamkan riba. (Al Baqarah:275), dan berdasarkan hadist yang shahih dan ijma’ ulama. Sedangkan perniagaan hukumnya -menurut asal- adalah halal, berdasarkan firmanNya: ( وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) dan Allah menghalalkan perniagaan. [Al Baqarah:275]

Perniagaan yang asalnya halal ini, suatu saat akan berubah menjadi haram karena ada beberapa sebab, antara lain:

Pertama : Penjualan benda tertentu.
Seperti dilarang menjual anjing, kucing, kera, binatang buas dan semisalnya. Dalilnya ialah, shahabat Ibn.Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

نَهَى النبي عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menerima hasil dari penjualan anjing. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

Kedua : Sifat penjualannya.
Seperti menjual barang yang belum jelas, menjual anak kambing di dalam perut induknya, menjual kacang tanah yang masih di dalam tanah, menjual ikan di dalam air, menjual kambingnya yang hilang, menjual barang yang bukan miliknya dan seterusnya, hal seperti ini dilarang. Mengapa? Karena ada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Hurairah, dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yang ada unsur penipuan (tidak jelas). [HR Muslim, Kitabul Buyu’].

Ketiga : Berkenaan dengan waktunya.
Seperti berjualan ketika khatib sedang berkhotbah Jum’ah sampai selesai shalat.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [Al Jum’ah:9].

Keempat : Berhubungan dengan tempatnya.
Seperti berjual-beli di masjid. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Apabila kamu melihat orang berjualan di masjid atau membelinya, maka katakanlah: semoga Allah tidak memberi laba perniagaanmu. [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ad Darimi. Albani berkata, sanadnya shahih menurut ketetapan Imam Muslim].

Kelima : Berkenaan dengan caranya.
Seperti menjual barang ribawi (mengandung unsur riba). Misalnya: menjual emas dengan emas, dengan melebihkan timbangannya sekalipun beda bentuknya. Atau menjual uang yang sama jenisnya, dengan melebihkan (menjual satu juta rupiah dengan memperoleh satu juta limapuluh ribu rupiah). Menjual beras lima kilogram dengan beras kwalitas lain, dengan tiga kilogram dan seterusnya. Dalilnya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilainya (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]

PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
Menurut pandangan orang jahiliyah dahulu, perniagaan itu disamakan dengan riba dari segi keuntungan (sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275). Tetapi dari segi hukum, menurut pandangan Dinul Islam jelas berbeda. Riba hukumnya haram, tidak berubah menjadi halal dengan alasan apapun. Pelakunya diancam dengan tidak memperoleh barakah dari keuntungan yang didapatnya dan di akhirat mendapat siksa. Sedangkan perniagaan asalnya halal, kecuali sebagian bentuk perniagaan yang dilarangan dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.

Mengingat pembahasan perbedaan antara jual-beli dan riba ini sangat luas jangkaunnya, -dikarenakan banyak dalil yang menjelaskan bentuk perniagaan yang haram (yang mengandung riba), disusul pula perkembangan model perniagaan pada zaman sekarang, yang pada hakikatnya mengarah kepada riba- oleh karenanya dalam pembahasan ini, kami batasi hanya memberikan contoh-contoh sepanjang pengetahuan kami model perniagaan dan riba yang berkembang pada masa kini dengan mengacu kepada dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan fatwa para ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.

Sebelum memasuki pembahasan perbedaan diantara keduanya, perlu kita mengetahui, mengenai benda apa yang apabila ditukar atau dijual dengan melebihkan salah-satunya, berarti dinamakan riba? Maka jawabnya ialah berikut ini.

Pertama : Ulama ahli fiqih telah sepakat, bahwa enam barang ini, yaitu: emas, perak, gandum, syair (jenis gandum), korma dan garam, tergolong riba, yaitu bila:
1. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya. Dinamakan riba fadhel.
2. Dijual atau ditukar, tidak diambil sebelum berpisah dari majelis. Dinamakan riba nasiah.
3. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya, dan diambil kemudian hari. Dinamakan riba fadhel dan nasiah.

Adapun dalilnya, sebagaimana dituturkan Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, sesungguhnya kami pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ , فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى , الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dengan gandum, syair (jenis gandum) dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam, maka harus sama (timbangan atau takarannya) dan harus lewat tangan dengan tangan (diterima sebelum berpisah). Maka barangsiapa yang menambahi atau minta tambah, sungguh ia telah meribakan, yang mengambil atau yang memberi sama. [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Kedua : Ulama fiqih berbeda pendapat, tentang barang ribawi selain enam macam tersebut. Ada yang berpendapat:
1. Tidak termasuk ribawi. Demikian ini pendapat Zhahiriyah
2. Semua barang yang dijual dengan timbangan atau takaran termasuk ribawi. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.
3. Mata uang dan makanan, demikian pendapat Imam Syafi’i.
4. Khusus makanan yang dijual dengan timbangan atau takaran, menurut pendapat Imam Ahmad.
5. Makanan pokok bila ditukar sama jenisnya dengan melebihkan, termasuk riba. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik.

Ibnul Qoyyim berkata,”Pendapat yang paling kuat, ialah pendapat yang mengatakan, bahwa makanan pokok bila dijual sama jenisnya dengan melebihkan salah satunya atau tidak diambil langsung, termasuk riba.”[6]

Contohnya gula dengan gula, tepung dengan tepung, beras dengan beras dan seterusnya.

Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim ini, nampaknya diperkuat pula oleh hadits dari Makmar bin Abdullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ, قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ

Makanan ditukar dengan makanan harus sama. Makmar berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum. [HR Muslim, Bab Al Masaqah].

CONTOH PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
1. Termasuk riba, bila menjual atau menukar uang lain jenis, dengan pembayaran belakangan.
Misalnya, menjual dolar dengan rupiah, salah satunya diambil nanti atau besok dan seterusnya. Penjualan ini haram karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ

Dan janganlah kamu menjual perak dengan emas, salah satunya tidak kelihatan yang lain di hadapannya (tunai). [HR Imam Malik, Kitabul Buyu’, sanadnya shahih].

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual uang lain jenis dengan pembayaran tunai, sekalipun tidak sama nilainya.

Misalnya, menjual $ 100 USA dengan Rp 900.000,- diterima di tempat penjualan, maka penjualan ini sah, karena uangnya lain jenis dan diterima di tempat.

Dalilnya, dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sesukamu apabila berhadap-hadapan (tunai). [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, apabila sama penyebabnya dan berbeda jenisnya, boleh dijual dengan melebihkan salah satunya, tetapi harus tunai.

2. Termasuk riba, menjual barang ribawi yang sama jenisnya yang satu kelihatan, sedangkan yang lainnya tersembunyi.
Misalnya: Jual gelang emasmu 10 gr ini dengan kalung emasku di rumah seberat 10 gr. Penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu menjual perak dengan perak, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan jangan engkau menjual yang tidak kelihatan dengan yang nampak. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, bila sama illat (penyebab) dan jenisnya, haram dijual dengan lebih (fadhel) atau tertunda (nasi’ah) penerimaannya.

Termasuk jual beli yang sah, bila dia berkata: Jual gelang emasmu 10 gr ini, dengan kalung emasku seberat 10 gr itu. Hukum perniagaanya sah, karena sama ridha dan sama nilainya dan keduanya diterima ditempat.

3. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain bentuk.
Misalnya: Aku jual perakku yang berupa cincin 10 gr ini dengan gelang perakmu 12 gr itu.

Hukum penjualan seperti ini haram, sekalipun sama-sama ridha, sama illat dan jenisnya, diterima ditempat, tetapi berbeda nilainya, yaitu 10 gr dengan 12 gr. Ini termasuk riba fadhel.

Dalilnya, lihat hadits yang dituturkan Ubadah bin Ash Shamit di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Masaqah.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dengan emas, perak dengan perak, lebih dari timbangannya karena berbeda bentuknya.

Termasuk jual beli yang sah, bila,
a. Perak dengan perak tadi dijual sama timbangannya, seperti 10 gr dengan 10 gr sekalipun berbeda modelnya (misal: gelang dengan cincin).Dalilnya sebagaimana hadits diatas.
b. Dijual cincin perak dengan berat 10 gr tadi dengan uang, lalu dibelikan perak berupa gelang 12 gr tadi, walaupun tidak menambah dengan uang.
c. Jual atau tukar tambah sepeda dengan sepeda, motor dengan motor yang sama merknya, rumah dengan rumah, tanah dengan tanah dan semisalnya, sekalipun sama jenisnya dan diterima saat sebelum pisah, tetapi illatnya bukan barang ribawi, yaitu bukan emas dan perak atau uang dan bukan makanan pokok.
d. Menjual makanan yang lazimnya tidak dijual dengan takaran, seperti buah durian dengan buah kelapa, sekalipun jumlahnya berbeda, karena illatnya buah bukan makanan pokok dan tidak harus dijual dengan takaran atau timbangan.

4. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain mutu atau kwalitasnya.
Misalnya: Saya jual berasku 100 kg yang aku peroleh dari tunjangan pemerintah ini dengan berasmu yang baru itu 90 kg, atau gula 5kg warnanya putih sekali ini dijual dengan gula agak kekuning-kuningan 6 kg. Hukum penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba fadhel, dan karena illatnya sama. Yaitu makanan pokok dan jenisnya sama (beras dengan beras, gula dengan gula) sekalipun kwalitasnya tidak sama.

Dalilnya Dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا قَالَ لَا وَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat seorang pekerja (Sawad bin Aziyah Al Anshari) di Khaibar, lalu dia datang dengan membawa kurma yang sangat istimewa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Apakah kurma Khaibar seperti ini semua?” Lalu dia menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah aku menukar satu sha’ kurma yang istimewa ini dengan korma kami dua sha’, dan dua sha’ dengan tiga sha’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jangan kamu membeli seperti itu! Jual kormamu yang campuran itu dengan dirham (mata uang), lalu beli korma yang istimewa itu dengan dirham.” [HR Bukhari Muslim, Kitabul Buyu’]

Termasuk jual beli yang sah, bila beras bagian yang jelek mutunya tadi dijual terlebih dahulu, dirupakan dengan uang atau barang lain, lalu dibelikan beras yang baik, demikian juga untuk gula.

Hadits di atas menunjukkan bolehnya merekayasa di dalam jual beli, asal dalam batas syar’i, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n tentang korma yang jelek dijual dengan dirham dulu, kemudian uangnya untuk membeli korma yang baik.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi bila sama illat dan jenisnya, haram dijual dengan melebihkan salah satunya dan tertunda penerimannya. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, sekalipun salah satunya bermutu baik, yang lain jelek.

5. Termasuk riba, bila menjual atau menukar benda ribawi sama jenisnya, dengan menambah ongkos pembuatan.
Misalnya: Menukar cincin emas senilai 3 gr di toko emas dengan senilai 3gr pula, lalu ditambah ongkos pembuatan. Hukumnya haram , karena termasuk riba fadhel, seharusnya tidak pakai tambah . Adapun dalilnya sebagaimana tercantum di atas.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dan perak, yang sama jenisnya dengan melebihkan pada salah satunya karena ongkos pembuatan.

Termasuk jual beli yang sah.
– Bilas cincin emas yang bernilai 3 gr tadi dijual dengan uang, lalu diterimanya, lalu dibelikan emas 3 gr pula sama bentunya atau lain , sekalipun nilai jual dan beli berbeda , karena orang menjual ingin cari untung , dan dia menjual dengan lain jenis , yaitu emas dengan uang.
– Bila mempunyai emas 10 gr, ingin ditukar dengan 17 gr, dengan membayar kekurangannya berupa uang tunai, hukumnya sah.

6. Termasuk riba, menjual benda ribawi yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, tetapi dijual salah satunya tanpa ditimbang atau ditakar.
Misalnya : Ada orang menjual emas tetapi tidak diketahui timbangannya dengan emas milik temannya, berupa gelang emas 10 gr, atau menjual beras di dalam karung yang tidak jelas timbangannya dengan beras 50 kg. Hukumnya haram, termasuk riba fadhel, karena sesuatu yang tidak jelas, maka akan terjadi penambahan pada salah satunya.

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لَا يُعْلَمُ مَكِيلَتُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual tumpukan kurma yang belum diketahui takarannya dengan korma yang sudah ditakar. [HR Muslim, Kitabul Buyu’]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Yang dinamakan al mumatsalah (persamaan) harus terwujud persyaratannya (harus sama jenis dan ukurannya). Maka, apabila meragukan, berarti melebihkan (riba).

Termasuk jual beli yang sah, bila emas yang belum jelas timbangannya, ditimbang dulu, lalu dijual dengan uang atau ditukar dengan emas dengan nilai yang sama dan diterima sebelum berpisah, sebagaimana mafhum (pemahaman) hadits di atas.

7. Termasuk riba, bila menjual barang ribawi, tidak dengan ukuran syar’i.
Misalnya: Menjual emas dengan takaran atau bijian. Padahal menurut syari’at Islam harus dijual dengan timbangan. Contoh yang lain, menjual gula dengan cawukan (Jawa, menyiduk secara serampangan). Padahal lazimnya dijual dengan timbangan. Adapun barang yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, seperti beras, maka boleh membelinya dengan salah satu ukurannya, asal dengan uang atau benda yang lain. Akan tetapi tidak boleh menjual beras 1 kg dengan beras 1 liter, karena termasuk riba fadhel. Sebab ukurannya tidak sama.

Dalilnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلاً بِكَيْلٍ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلاً بِكَيْلٍ

Emas dijual dengan emas, hendaknya sama timbangannya. Dan perak dijual dengan perak, hendaknya sama timbangannya. Gandum dijual dengan gandum, hendaknya sama takarannya. Dan gandum syair dijual dengan syair, hendaknya sama dengan takarannya. [HR Al Atsram dan Ath Thahawi, dishahihkan oleh Al Lajnah Daimah 13/502]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual barang ribawi, melainkan dengan ukuran syar’i. Yaitu barang yang lazimnya dijual dengan timbangan, maka harus dijual dengan timbangan; yang dijual dengan takaran, maka harus dijual dengan takaran pula.

Termasuk jual beli yang sah.
– Bila emas dijual dengan timbangan dan diterima tunai.
– Bila tanah dengan meteran atau ukuran lain, karena bukan termasuk barang riba.
– Bila makanan ringan dan buah-buahan dengan bijian atau jumlah, karena bukan makanan pokok.
– Bila besi dengan timbangan atau bijian, karena bukan benda ribawi.

8. Termasuk riba, bila menjual sama jenisnya, tetapi bercampur dengan jenis lain, sebelum dipisah.
Misalnya: Menjual cincin emas yang bermata, dengan perhiasan emas yang tak bermata, atau dijual dengan uang, maka hukumnya haram. Karena tidak jelas timbangan emasnya dan termasuk riba fadhel.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Barang ribawi tidak boleh dijual walaupun sama jenisnya, apabila salah satunya atau keduanya bercampur dengan jenis lain. Seperti, satu mud korma ajwah dan satu dirham, ditukar dengan semisalnya. Atau dengan dua mud dan dua dirham. Atau satu dirham dan satu dinar dengan dinar.

Dalilnya, dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata.

اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ : لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

Saya membeli kalung pada waktu perang Khaibar dengan harga dua belas dinar. Di dalamya terdapat emas dan permatanya, lalu aku lepas permatanya. Tiba-tiba aku menjumpai beratnya lebih dari dua belas dinar, kemudian aku menuturkan kepada Nabi n , lalu beliau menjawab,”Jangan kamu jual, sehingga kamu pisahkan (emas dengan permatanya).” [HR Muslim, Kitabul Masaqat]

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual perhiasan emas tadi dengan melepas permatanya sebelum dijual, lalu ditukar dengan emas yang sama timbangannya dan diterima sebelum berpisah, atau dibelinya dengan uang.

Dalilnya dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilai (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

9. Termasuk riba, bila menjual barang dengan pembayaran taqsith (kredit), dan harus menambah nilainya apabila terlambat pembayarannya. Hal ini termasuk riba jahiliyah (riba nasiah). Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 154 ,156, 161.]

Termasuk jual beli yang sah, bila pembelian barang dengan kredit tersebut tidak mengalami penambahan nilai hutang, bila tertunda pembayarannya.

Dalilnya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 155.

10. Termasuk riba, bila membelikan barang untuk orang lain dengan pembayaran tempo (tentunya lebih mahal), lalu pembeli menjualnya kepada penjual pertama lebih murah, karena dibayar tunai. Ini temasuk jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 136-138.

Contohnya, Fulan membelikan mobil untuk orang lain dengan harga kredit 100 juta rupiah, diangsur selama dua tahun. Setelah akad pembelian, sebelum dipegangnya, dia menjualnya kepada Fulan lagi dengan tunai lebih murah, hanya 70 juta rupiah umpamanya. Maka, hukumnya haram.

Dalilnya, dari Ibnu Umar, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu jual beli dengan cara ‘inah, dan kamu sibuk dengan membajak ladangmu, dan kamu ridha dengan bercocok tanam, dan kamu tinggalkan kewajiban jihad (fardhu’ ain), maka Allah akan membuat kamu hina. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kamu kembali ke agamamu. [HR Abu Dawud, Kitabul Buyu’ dan Imam Ahmad Musnad Muktsirin].

Termasuk jual beli yang sah, bila pembeli di atas menjual kepada penjual pertama, walaupun hanya 70 juta rupiah, bila hutangnya yang berupa kredit tadi telah dibayar lunas. Untuk lebih jelasnya, baca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 139.

11. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.

Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp 1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr. Atau 10 gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali setelah panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya ke KUD. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya harus dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan riba fadhel dan nasiah. Karena menjual barang haknya penjual, bukan haknya pembeli.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan benih telur ke dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena meminjam sesuatu, harus kembali dengan sesuatu yang sama pula. والله أعلم

Peminjaman di atas sah, apabila:
– Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
– Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
– Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal, sedangkan pembayarannya setelah panen.
– Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
– Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan uang. Hal ini dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan barang ribawi.
– Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan rumah umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan. Karena barang tersebut bukan benda ribawi.

12. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar, kembali seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel, sekalipun sama-sama suka.

Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya), perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

13. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan mendapat tambahan atau dikurangi.
Misalnya, menitipkan uang di bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil bunganya juga. Atau sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi ketika diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan kepentingan kebutuhan sekolah.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena titipan. Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain dengan akad jual beli.

14. Termasuk riba, bila menjual dan membeli saham di bank. Karena pada hakikat penjualan saham ini, ialah menjual uang dengan uang yang tidak sama nilainya dan tidak langsung diterima. Dan karena usahanya membungakan uang.

Dalilnya, firman Allah:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al Maidah:2].

15. Termasuk jual beli yang sah, bila saham tersebut telah berada di tangannya, dan bukan bekerja sama dengan bank ribawi. Dan sebaiknya diberitahukan kepada pemilik saham yang lain. Karena kawannya lebih berhak, daripada yang lain. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits.

Demikianlah sebagian contoh perbedaan antara riba dan perniagaan yang dihalalkan menurut pandangan Dinul Islam yang mulia. Tentunya tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi mcam jual-beli sistim riba. Utamanya penjualan kertas berharga yang dikeluarkan oleh bank. Hal ini tentunya dapat diketahui oleh pengusaha besar, yang selalu berhubungan dengan bank. Seperti penjualan cek dengan harga lebih murah daripada yang tercamtum di dalamnya, karena pencairannya menunggu setelah satu bulan –umpamanya- dan seterusnya.

والحمد لله رب ا لعالمين




Nasehat Islam • Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

Nasehat Islam • Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk? 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Permasalahan ini adalah permasalahan fiqhiyah yang seringkali diperdebatkan. Sebenarnya kita bisa saling tolelir dalam masalah ini jika memang didukung oleh dalil yang sama-sama kuat. Namun demikian ada yang menjadikan tata cara shalat semacam ini sebagai barometer ia ahlus sunnah ataukah bukan. “Tasyahud akhir haruslah iftirosy jika shalatnya dua raka’at”, inilah ciri ahlus sunnah. Demikianlah realita yang terjadi pada sebagian orang. Padahal yang benar dalam masalah ini ada silang pendapat di kalangan para ulama. Sehingga tidak tepat dikatakan bahwa tata cara tasyahud seperti tadi adalah barometer ahlus sunnah atau bukan.

Ringkasnya, artikel ini akan mengkaji lebih jauh, manakah pendapat terkuat dalam masalah ini. Apakah duduk tasyahud akhir pada shalat dua raka’at adalah iftirosy atau tawaruk. Tentu saja kesimpulan yang diambil adalah dari pemahaman dalil, bukan sekedar kata si A atau si B, juga didukung oleh kaedah fiqhiyah yang tepat dan berbagai kalam ulama.  Dengan memohon taufik dan ‘inayah Allah, semoga bermanfaat.

Apa itu Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirosy?

Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduktawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.[1]

Sebagaimana yang sering kita lakukan, dudukiftirosy adalah duduk seperti pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk seperti pada tasyahud akhir pada shalat empat raka’at (seperti pada shalat Zhuhur).

Perselisihan Ulama

Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk.  Hal ini sama antara pria dan wanita.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu dudukiftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduktawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.

Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.[2]

Dalil Pendapat Pertama dan Kedua

Pendapat pertama: Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu.”[3]

Dalil lain yang digunakan adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- التَّشَهُّدَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا فَكُنَّا نَحْفَظُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ حِينَ أَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَهُ إِيَّاهُ – قَالَ – فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di pertengahan dan di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia berkata, “Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk tawarruk di atas kaki kirinya, lalu beliau membaca: …”[4]

Dalil di atas menyebutkan duduk tawarruk baik di pertengahan shalat maupun di akhir shalat.

Pendapat kedua: Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud awwal dan akhir dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[5]

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.

Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[6]

Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata,

قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

Aku tiba di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.”[7]

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair) , ia berkata,

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan kaki kanannya.”[8]

Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan.

Dalil Pendapat Ketiga dan Keempat

Pendapat ketiga (Imam Asy Syafi’i) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.

Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.

Jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata,

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”[9]

Mengenai maksud “Jika duduk pada raka’at terakhir …”, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Dan dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ.

Sampai jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”. Dan dalam riwayat Ibnu Hibban,

الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

(Pada raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya.”

Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya,

ثُمَّ سَلَّمَ

Lalu beliau mengucapkan salam”. Dan dalam riwayat ‘Isa dalam riwayat Ath Thahawi,

فَلَمَّا سَلَّمَ سَلَّمَ عَنْ يَمِينه سَلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَة اللَّه وَعَنْ شِمَاله كَذَلِكَ

Tatkala mengucapkan salam, maka beliau salam ke sebelah kanannya “salaamun ‘alaikum warahmatullah, dan ke sebelah kirinya pun seperti itu juga”. Dan dalam riwayat Abu ‘Ashim dari ‘Abdul Hamid dalam riwayat Abu Daud dan selainnya, mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan-,

صَدَقْت ، هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي

Engkau telah benar, memang demikian beliau shalat.”

Dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

Sehingga pada duduk yang terdapat salam (duduk tasyahud akhir), beliau menggeser kaki kirinya dan duduk dan beliau duduk tawarruk di atas sisi kirinya.”

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/297), dan Ahmad (5/424), terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ.

“Sehingga pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya (raka’at terakhir)”.

Dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.

Menguatkan Pendapat

Pendapat pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam dalil dan meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah,

علي وكلا القولين خطأ وخلاف للسنة الثابتة التي أوردنا

Dan kedua pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah kami sebutkan.”[10]

Ditambah lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang membedakan tata cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu Humaid jelas-jelas terbedakan,

فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”

Bagaimana dengan Pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i?

Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy)”. Dari lafazh ini menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Lafazh setelahnya “Jika duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafazh sebelumnya bermakna “yang bukan raka’at terakhir”.

Kedua: Mengambil pemahaman dari hadits bahwa yang dimaksud setiap yang shalatnya hanya ada sekali tasyahud, adalah duduk iftirosy, ini termasuk pemahaman yang lemah. Karena ini berarti berpegang pada mafhum ‘adad (penarikan kesimpulan dari suatu bilangan). Dalil semacam ini dinilai lemah oleh sebagian ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ مُحْتَمَلَةٌ

Yang tepat, pemahaman mafhum al-‘adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat kemungkinan”.[11]

Jika kita telah memahami hal ini, maka penyebutan “dua raka’at” yang disebutkan dalam hadits bukanlah maksud, namun maknanya adalah “duduk yang bukan raka’at terakhir”. Hal ini semakin dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ

Jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah dengan thuma’ninah, duduklah iftirosy dengan menghamparkan paha kirimu -agar engkau duduk diatasnya-, lalu lakukanlah tasyahhud”[12]

Hadits berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafi’i,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.”[13] Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk pada tasyahud akhir shalat dua raka’at (artinya, hanya ada sekali tasyahud).

Adapun hadits ‘Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirosy, di situ tidak disebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan ataukah pada akhir shalat, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil(terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirosy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?!

Jika ada yang berkata, “Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.”

Kami sanggah, “Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, di mana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Jika Anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits ‘Abdullah bin ‘Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.”

Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka’at, namun di sana ada shalat yang berjumlah satu raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu tasyahhud, tujuh raka’at di mana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, sembilan raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan ke raka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana Anda menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat dipahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelasakan tentang permasalahan ini.

Kesimpulan, hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhuadalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud.Jika duduk dilakukan di pertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirosy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang bersifat umum (belum terperinci). Maka hadits yang bersifat global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Sebagaimana kaedah ini sudah diketahui bersama dalam kaedah ushul. Wallahul muwaffiq.

Dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang diinginkan.

Pendukung dari Pendapat Ulama

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ . وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ

“Hadits ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.

Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,

فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة

“Di raka’at terakhir.”

Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki dua kali tasyahud.”[14]

Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah berkata,

قال الشافعي والاصحاب فحديث ابى حميد واصحابه صريح في الفرق بين التشهدين وباقى الاحاديث مطلقة فيجب حملها علي موافقته فمن روى التورك اراد الجلوس في التشهد الاخير ومن روى الافتراش اراد الاول وهذا متعين للجمع بين الاحاديث الصحيحة لا سيما وحديث أبى حميد وافقه عليه عشرة من كبار الصحابة رضي الله عنهم والله أعلم

Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secata tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhumWallahu a’lam.”[15]

Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,

وَالْإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى .

“Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”[16]

Abuth Thoyyib rahimahullah berkata,

وَفِي حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّة قَوِيَّة صَرِيحَة عَلَى أَنَّ الْمَسْنُون فِي الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل الِافْتِرَاش وَفِي الْجُلُوس فِي الْأَخِير التَّوَرُّك وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقّ عِنْدِي وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَم .

“Di dalam hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan tegas bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Inilah yang menurutku lebih tepat. Wallahu Ta’ala a’lam. ”[17]

Asy-Syaukani  rahimahullah mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ الْآتِي { فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ } . وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد حَتَّى { إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ }

“Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.[18]

Pendapat Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm rahimahullahberkata,

فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ

“Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (maksudnya, melakukan duduk tawarruk, pen).”[19]

Penutup

Pembahasan ini menunjukkan bahwa  pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduktawarruk. Demikian pendapat terkuat dari hasil penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada.[20]

Semoga pembahasan ini semakin memberikan pencerahan pada kaum muslimin. Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyah yang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga tidak tepat menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi barometer seseorang ahlus sunnah ataukah bukan. Hanya Allah yang beri taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 



[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/347.

[2] Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H, hal. 129; Fathul Bari, Ibnu Rajab Al Hambali, Asy Syamilah, 6/69-70.

[3] HR. Bukhari no. 827.

[4] HR. Ahmad 1/459. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad riwayat ini hasan. Namun sebagian ulama melemahkan hadits ini.

[5] HR. Muslim no. 498.

[6] HR. Ibnu Khuzaimah 1/343. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.

[7] HR. Tirmidzi no. 292. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[8] HR. Ibnu Hibban 5/270. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad riwayat ini qowi (kuat)

[9] HR. Bukhari no. 828.

[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 4/127.

[11] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 3/122

[12] HR. Abu Daud no. 860. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[13] HR. An Nasai no. 1262. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[14] Fathul Bari, 2/309.

[15] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/451.

[16] Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2/156.

[17] ‘Aunul Ma’bud, Aabadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415, 3/171.

[18] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 4/15.

[19] Al Muhalla, 4/125.

[20] Tulisan ini banyak terinspirasi dari tulisan Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal –semoga Allah selalu memberkahi beliau dalam kebaikan-

Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai…

Doa Untuk Orang Yang Meninggal • Nasehat Islam

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Mua'wiyah bin Amru telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Al Fazari dari Khalid Al Hadzdza` dari Abu Qilabah dari Qabishah bin Dzu`aib dari Ummu Salamah ia berkata; Ketika Abu Salamah meninggal,

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang ke rumah kami untuk menjenguk jenazahnya. Saat itu, mata Abu Salamah tengah terbeliak, maka beliau pun menutupnya. Kemudian beliau bersabda: "Apabila ruh telah dicabut, maka penglihatan akan mengikutinya dan keluarganya pun meratap hiteris.

Dan janganlah sekali-kali mendo'akan atas diri kalian kecuali kebaikan, sebab ketika itu malaikat akan mengaminkan apa yang kalian ucapkan." Setelah itu, beliau berdo'a: "ALLAHUMMAGHFIR LIABI SALAMAH WARFA' DARAJATAHU FIL MAHDIYYIIN WAKHLUFHU FI 'AQIBIHI FIL GHAABIRIIN, WAGHFIR LANAA WALAHU YAA RABBAL 'ALAMIIN, WAFSAH LAHU FII QABRIHI WA NAWWIR LAHU FIIHI (Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya)."

Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa Al Qaththan Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Al Mutsanna bin Mu'adz telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Al Hasan telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadzdza` dengan Isnad ini dan serupa dengannya. Hanya saja, ia mengatakan; "Dan gantikanlah ia bagi keluarganya." Ia juga mengatakan; "Ya Allah, lapangkanlah kuburannya." Dan ia tidak mengatakan; "IFSAH LAHU (lapangkanlah baginya)." Dan ia menambahkan lagi; Khalid Al Hadzdza` berkata; "Dan do'a lain yang ketujuh saya lupa."

HR. Muslim

Syariat Islam Harus Ditegakkan

Syariat Islam atau Hukum Peninggalan Kafir Penjajah Belanda?

اَفَحُكْمَ  الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ  وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

[QS. Al-Ma'idah: Ayat 50]

Inilah Orang Yang Paling Mirip Dengan Sholat Rasulullah


Inilah Orang Yang Paling Mirip Dengan Sholat Rasulullah

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bahwasanya Abu Hurairah pernah shalat bersama mereka', ia bertakbir setiap hendak turun atau bangkit. Tatkala selesai shalat ia berkata; "Demi Allah, aku adalah orang yang shalatnya paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam."

HR. Nasa'i



Telah mengabarkan kepada kami Nashr bin 'Ali dan Sawwar bin 'Abdullah bin Sawwar dia berkata; telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'la dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Abu Bakr bin 'Abdurrahman dan dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya keduanya shalat di belakang Abu Hurairah Radliyallahu'anhu; bila hendak ruku' maka ia bertakbir. Jika ia mengangkat kepalanya dari ruku' maka ia mengucapkan, "Sami'allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu (Allah Mendengar semua yang memuji-Nya. Ya Allah, untuk-Mu segala pujian)." Kemudian ia bertakbir ketika turun untuk sujud dan bertakbir ketika hendak bangun dari rakaat. Kemudian ia berkata; "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku adalah orang yang paling serupa dengan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, dan masih seperti inilah shalat beliau sampai meninggal dunia." Lafazh ini milik Surur.

HR. Nasa'i 

Tidak Berlebih-lebihan Dalam Memberi Mahar • Nasehat Islam

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Ubaid, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Muhammad dari Abu Al 'Ajfa` As Sulami, ia berkata;

Umar radliallahu 'anhu berkhutbah kepada kami, ia berkata; ketahuilah, janganlah kalian berlebihan dalam memberi mahar kepada para wanita, seandainya hal itu adalah sebuah kemuliaan di dunia atau sebagai bentuk ketakwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling dahulu melakukannya adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan mahar kepada salah seorang dari isteri-isteri beliau, dan tidak juga diberikan kepada puteri-puteri beliau jumlah mahar yang melebihi dua belas uqiyah.

HR. Abu Daud

Mahar Surat Al-Quran • Nasehat Islam

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ya'qub dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwa terdapat seorang wanita yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; wahai Rasulullah, saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat kepadanya, lalu mengangkat pandangannya kepadanya dan merendahkannya kemudian menundukkan kepalanya.

Kemudian tatkala wanita tersebut melihat bahwa beliau tidak menunaikan sesuatu pada dirinya iapun duduk. Lalu terdapat seorang laki-laki dari kalangan sahabat yang berdiri kemudian berkata; wahai Rasulullah, apabila engkau butuh kepadanya maka nikahkanlah saya dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau memiliki sesuatu?" kemudian orang tersebut mengatakan; tidak, demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu. Kemudian beliau bersabda: "Lihatlah walaupun satu cincin besi." Lalu orang tersebut pergi kemudian kembali dan berkata; tidak, demi Allah wahai Rasulullah, tidak juga cincin besi, akan tetapi ini ada sarungku.

Sahl berkata; ia memiliki selendang, maka bagi wanita tersebut setengahnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang dapat engkau perbuat dengan sarungmu itu? Apabila engkau memakainya maka ia tidak memakai sedikitpun darinya. Dan jika ia memakainya maka engkau tidak memakai sedikitpun darinya." Lalu laki-laki tersebut duduk hingga lama, kemudian berdiri dan dilihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpaling. Kemudian beliau memerintahkan agar ia dipanggil, lalu orang tersebut dipanggil. Lalu setelah ia datang beliau bersabda: "Apa yang engkau miliki dari Al Qur'an?" orang tersebut berkata; saya memiliki surat demikian dan demikian.

Dan iapun menyebutkannya, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apakah engkau dapat membacanya di luar kepala?" orang tersebut berkata; ya. Maka beliau bersabda: "Saya berikan dia kepadamu dengan apa yang engkau miliki dari Al Qur'an."

HR. Nasa'i

Proses Setan Menggoda Manusia Dari Adzan Sampai Sholat

Proses Setan Menggoda Manusia Dari Adzan Sampai Sholat

Nasehat Islam@islam_nasehat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila telah diserukan panggilan (adzan) untuk shalat, maka setan mundur seraya mengeluarkan kentutnya hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan itu telah selesai, ia datang lagi.

Ketika dibacakan iqamah shalat, ia membelakang lagi, sampai ketika pembacaan iqamah selesai, baru ia datang lagi, sehingga melintas (mengganggu) hati orang yang sedang shalat, dan ia berkata; Ingatlah ini, ingatlah ini!, ia mengingatkan sesuatu yang tidak di ingat ingatnya sebelum dia shalat, sampai orang itu keliru dan dia tidak tahu, sudah berapa rakaatkah shalat yang telah dia kerjakan."

(HR. Abu Daud)

Minggu, 28 Januari 2018

Adegan Film Dilan 1990 Yang Tidak Pantas Dicontoh Generasi Muda Islam


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.. sebagai generasi muda muslim ada baiknya kita hati hati dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini adalah menonton Film yang sedang booming atau viral yaitu Dilan 1990. 


Sesungguhnya saya lihat Film ini banyak sekali mudharatnya. Karena bisa mengakibatkan jatuh cinta sebelum nikah atau pacaran. Yang sudah pasti pacaran itu diharamkan dalam Islam karena sudah pasti ada zina didalamnya.



Berikut adalah hal hal yang menurut saya Film ini sangat tidak cocok untuk generasi muda Islam. Dan dapat menghambat Hijrah seorang muslim.




Tidak menutup aurat, padahal sekilas saya lihat trailernya si cewek bilang kalau Tuhannya adalah Allah. Sudah pasti beragama Islam, tapi perintah Allah untuk menutup aurat tidak ditaatinya.

يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ   ۗ  ذٰ لِكَ اَدْنٰٓى اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ   ۗ  وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
[QS. Al-Ahzab: Ayat 59]

Miris sekali, disaat generasi Indonesia sedang memperbaiki akhlak dengan menghindari pacaran dan menjauhi zina.
Film ini justru seolah-olah mendukung budaya pacaran yang sudah mengakar di Indonesia 

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰٓى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً   ۗ  وَسَآءَ سَبِيْلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
[QS. Al-Isra': Ayat 32]




Menyentuh yang bukan mahram 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). 




Bantu share artikel ini agar banyak generasi muda Islam yang tahu tentang hal hal yang sudah Allah dan Rasullullah tetapkan. Dan wajib dijauhi hal hal yang dilarang dalam Islam.


Semoga bermanfaat.. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuhu 





• Dilan 1990


• @islam_nasehat


• Nasehat Islam 


• Islam Nasehat